Arief Goenadibrata, Direktur Pengelola PT Nojorono Tobacco International.

Pandemi Covid-19 memunculkan kebutuhan untuk meningkatkan daya tahan tubuh. Salah satu cara yang ditempuh banyak orang adalah mengonsumsi rempah. Arief Goenadibrata, Direktur Pengelola PT Nojorono Tobacco International, mengatakan bahwa konsumen dari yang muda sampai yang tua berburu untuk mengonsumsi rempah.

Untuk itu, “Kami membuat produk yang menggabungkan dua kebutuhan ini, yakni mengenyangkan dalam bentuk rokok SKT (sigaret keretek tangan) dan kebutuhan akan rempah. Ini kami padukan dengan konsep produk yang namanya Minak Djinggo Rempah, diluncurkan pada Juni 2020,” ujar Arief.

Sebagai perusahaan rokok yang berdiri sejak 1932, tentunya Nojorono sudah paham bagaimana membaca kebutuhan konsumen. Sebelum Minak Djinggo Rempah diluncurkan, Nojorono melakukan customer activation dengan cara turun langsung untuk menyapa konsumen, seperti ke warung kopi, pedagang asongan, dan pangkalan ojek online, untuk bisa menjelaskan konsep ini dan meminta masukan.

Dan, menurut Arief, mereka menyambutnya dengan baik. Mereka menikmati dan mendapatkan experience-nya. Menariknya, banyak dari mereka yang kemudian membuat Vlog secara pribadi untuk sharing mengenai produk tersebut.

“Itu dilakukan secara sukarela, kami tidak membayar atau meminta mereka untuk melakukannya. Ini sebuah bukti bahwa experience itu diterima,” Arief menegaskan.

Namun, adanya pembatasan dalam promosi penjualan produk rokok membuat Nojorono pun harus mencari cara untuk membuat sebuah image terhadap produk rokok. Khusus untuk Minak Djinggo Rempah, perusahaan ini mengusung rasanya.

“Rasa dari rempah yang dicampurkan ke dalam rokok itu belum pernah ada sehingga kami mau men-trigger setiap konsumen, yuk dicoba karena ini akan memberikan rasa yang belum pernah ada. Bahkan, iklan untuk menyapa para milenial, rasa yang ada itu rasanya mantan, otomatis Anda harus mencoba rasa yang belum pernah ada,” kata Arief.

Menurutnya, itu sesuatu yang baru dan disukai milenial. Rempahnya ini bisa diminum, dan ini yang dicampurkan ke dalam rokok.

Meski menyasar milenial, bahasa yang disampaikan dalam mengomunikasikan produk tersebut memakai ejaan lama. Tentang hal ini, Arief mengemukakan alasannya, bahwa konsep produk ini adalah menurunkan warisan dari resep legendaris yang lama.

Kompensasinya adalah bentuk packaging, seal, dan slide-nya. Karena double protection, jadi modelnya sudah sesuai dengan aspirasi milenial. Hanya saja, “Pesan yang kami sampaikan tetap menggunakan model-model vintage,” ujarnya.

Dengan inovasi tersebut, belasan ribu karyawan Nojorono terselamatkan dari kehilangan pekerjaan karena penurunan produksi selama pandemi. Perusahaan juga dapat bertahan meskipun dengan keuntungan yang tipis.

Namun, yang terpenting, pelanggan mendapatkan manfaat dari rempahnya. “Jadi, ada tiga keuntungan yang didapatkan dari proyek ini,” ia menegaskan.

Tak hanya itu, Nojorono juga berkolaborasi dengan Precious One yang mempekerjakan kaum difabel, menggunakan materi promosi yang bisa di-recycle menjadi eco bag, dan menerapkan konsep safety dalam produksi Minak Djinggo Rempah.

Nojorono, menurut Arief, melihat customer bukan hanya pelanggannya. Ia berharap Nojorono bisa menjadi cahaya/sinar tidak hanya kepada konsumen yang membeli produknya. Jadi, ada internal customer dan external customer. “Mereka harus mendapatkan experience dari proyek ini,” katanya tandas.

Orang-orang di dalam mendapatkan experience bahwa dengan kerja keras mereka bisa mendapatkan jaminan keberlangsungan pekerjaan. Kemudian, yang di luar, yakni adult smoker, tidak hanya membeli rokok, tetapi juga mendapatkan rempahnya sebagai sebuah pengalaman yang belum pernah ada.

Langkah tersebut mampu mendukung ketahanan kinerja Nojorono. Per Desember 2021, kata Arief, pangsa pasar Nojorono untuk SKT di Indonesia sekitar 2,2% dengan brand Minak Djinggo dan Clas Mild, menempati posisi ke-4. Angka tersebut sudah melampaui volume market share Bentoel/BAT Group (1,8%). Volume pangsa pasar Nojorono untuk SKT yang tahun 2015 sempat turun, kini sudah menunjukkan peningkatan.

“Tahun 2019-2021 adalah masa pandemi, di mana terjadi pergeseran pola konsumen. Dulu, konsumen cenderung pada rokok yang mild, SKM (sigaret keretek mesin), nah pada saat pandemi terjadi pergeseran. Mereka lebih memilih rokok yang mengenyangkan (rokok dengan kandungan tembakau yang lebih banyak) dan affordable karena SKT itu ditunjang oleh pemerintah dengan cukai yang sangat membantu sehingga harga jualnya bisa murah,” Arief menerangkan. (*)

Vina Anggita 

www.swa.co.id


Artikel ini bersumber dari swa.co.id.