Jakarta, CNN Indonesia

Maswin masih ingat betul peristiwa 12 tahun lalu. Pada 2010, dia dan beberapa rekannya menjadi pekerja di proyek pemugaran komplek Percandian Pulau Sawah, Kanagarian Siguntur, Dharmasraya, Sumatera Barat.

Salah satu kawannya sekarat, kemudian meninggal tak lama setelah mengambil bongkahan emas berbentuk botol saat penggalian.

“Ketika menggali tanah, kawan ambo menemukan emas serupa botol. Kira-kira ukurannya sebesar telapak tangan. Dia memperlihatkan ke semua pekerja, lalu membawanya pulang. Dua hari setelah itu, ia tiba-tiba jatuh sakit dan pernah bermimpi bahwa benda serupa botol itu dijaga oleh naga besar dan memintanya mengembalikan. Namun, ia enggan, sehingga seminggu kemudian ia meninggal dunia,” kenangnya.

Cerita itu Aswin ungkapkan dari sebuah warung kopi di antara pohon-pohon rindang di Sungai Batanghari. Tak jauh dari sana, sebuah tenda sudah dipenuhi oleh para pejabat yang sedang makan bajamba (makan bersama) dengan lahapnya. Keramaian ini bagian dari semaraknya puncak Festival Pamalayu, pada 23 Agustus lalu.

“Di siko (dini) kami dulu menemukan ameh tu…” katanya dengan menunjuk-nunjuk tanah di bawah kakinya, tempat lapau kopi itu berada. 

Kawasan Candi Pulau Sawah yang berada di Kenagarian Siguntur, Kecamatan Sitiung itu terletak di hulu aliran Sungai Batanghari. Saat ini di sekitar situs peninggalan Hindu-Buddha tersebut merupakan area perkebunan seperti kebun karet, jeruk nipis, dan jerus manis milik masyarakat. Selain sebagai perkebunan, kawasan Pulau Sawah saat ini juga menjadi tempat ternak sapi warga.

Bukan soal banyak artefak yang Maswin ceritakan. Tapi bagaimana Hulu pernah begitu terasa jernih. Maswin bersama dua temannya, Ridon dan Irfan menyebut Sungai Batanghari, saking jernihnya, membuat ikan yang berenang di dasar sungai terlihat hingga ke permukaan.

“Kira-kira air sungai mulai keruh sejak tahun 2000-an, warna air berangsur-angsur berubah menjadi kehitaman,” ujar mereka bersepakat.

Ridon sehari-harinya bekerja sebagai supir perahu. Warga setempat menyebut perahu itu ketek. Kata dia, dulu air sungai pernah menjadi sumber air minum utama bagi warga kampung. Airnya juga bisa untuk mandi dan mencuci.

“Ikan Gayiang, Kulaghi, Patin, Ngongai dulu di sungai ini jumlahnya berlimpah, bahkan ada Ikan Ngongai yang berukuran sebesar kapal dengan berat 100 kilogram dan ikan hias tilam yang siripnya berwarna-warni pernah saya pancing bersama bapak dulu,” kata pria berusia 36 tahun itu.

“Saya rindu Sungai Batanghari kembali jernih,” tambah Irfan.

Pencemaran

Sungai Batanghari kini serupa lautan susu coklat bercampur minyak. Kawanan buih bergerombol di sepanjang alirannya. Debit air yang tinggi membuat aroma serupa besi berkarat tercium hingga ke pinggir sungai. Sesekali, air sungai berubah menjadi warna hitam dan tercampur dengan air berwarna coklat dan mengalir ke hilir.

Rerupa ekskavator berukuran besar sibuk mengeruk pasir dan batu keluar dari sungai. Di daerah paling hulu sungai yaitu Solok Selatan, bahkan galian tambang emas tipe c berjamuran di sekitar ekosistem sungai.

CNNIndonesia.com melakukan beberapa tahapan pengujian sampel air Sungai Batanghari. Sampel air tersebut diambil pada tanggal 22 Agustus 2022 di lokasi Kawasan Candi Pulau Sawah, Siguntur, Dharmasraya, sebanyak sekitar 180 mililiter di tiga titik berbeda. Sampel tersebut diuji kadar logam berat dan kandungan mikroba E Coli di Laboratorium Biologi dan Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) UNP.




(Foto: Arsip Istimewa)




Bekas Fungsi Vital dari Kejayaan Masa Lalu, Sungai Batanghari Kini Menjadi Sumber Racun Vital bagi Masyarakatnya(Foto: Arsip Istimewa)

Hasil pengujian sampel menjelaskan bahwa 14 logam berat yang ditemukan tersebut memiliki kadar yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan nilai batas ambang maksimum. Di mana nilai batas ambang maksimum tersebut merupakan toleransi jumlah logam berat yang diperbolehkan terkandung dalam air minum atau sumber air mineral.

Logam Timbal (Pb) yang dapat berasal dari limbah industri pertanian, seperti sawit, Merkuri (Hg) yang berasal dari air raksa, dan zat beracun lainnya ditemukan di Sungai Batanghari. Sedangkan Klorin berasal dari limbah rumah tangga berupa deterjen, dan lain sebagainya.

Temuan itu juga dibenarkan oleh data WWF yang menjelaskan bahwa terdapat kandungan timbal dan merkuri di hilirnya sungai Batanghari dengan kandungan yang lebih besar.

Sungai Batanghari itu, kata Freshwater Stakeholder Engangement Specialist Program WWF, Ratna Dewi mengalami degradasi penurunan kualitas air dan ekosistem akibat aktivitas manusia dan akibat lainnya, seperti perubahan secara alami, baik itu yang disebabkan oleh siklus alami sungai maupun perubahan dari climate change.

“Memang persoalan yang paling besar Batanghari tercemar itu oleh limbah, yang terdiri dari limbah domestik berupa rumah tangga, perkebunan dan industri, kedua limbah berupa logam berat, tingkat merusaknya sangat tinggi atau berbahaya akibat tambang timah, peti dan industry,” jelasnya.

Menurut Ratna, pihaknya sudah menemukan kandungan Merkuri (Hg) yang kami temukan yaitu sebanyak 5,198 ppm, sedangkan Timbal (Pb) yaitu sebanyak 1,259 ppm di Hilir Sungai Batanghari.

Fakta kandungan merkuri tersebut juga diperkuat dengan adanya penangkapan tambang emas ilegal di bagian Hulu Sungai Batanghari yaitu di Kabupaten Solok Selatan dan Dharmasraya.

Kasat Reskrim Polres Dharmasraya, AKP Dwi Angga mengatakan sejak tahun 2020 hingga 2022, sebanyak 11 kasus pengungkapan tambang emas illegal di Dharmasraya.

“Tidak sampai ukuran besar yang diamankan karena masih menggunakan cara yang konvensional. Jadi hanya berukuran dua hingga tiga gram saja,” jelasnya.

Adapun daerah penangkapan tambang emas ilegal tersebut, menurutnya berada di daerah tepian sungai, yaitu di Asam Jujuhan, Silayo, dan Sitiung.

Kasat Reskrim Polres Solok Selatan, Dwi Poerwanto sudah ditemukan dan diamankan sebanyak 13 kasus tambang emas illegal di Solok Selatan sejak tahun 2020.

Kepala Laboratorium Biologi, UNP, Dezi Handayani mengatakan bahwa kandungan logam Merkuri dan Timbal tersebut dapat menyebabkan kanker dan sebagainya dalam jangka waktu yang lama.

“Memang penyebab dari Merkuri dan Timbal itu tidak langsung dirasakan, namun jika masyarakat akan dapat merasakan dampaknya sekitar 30-50 tahun mendatang berupa kanker hingga kematian,” jelasnya.

Klik untuk selanjutnya..


Romantisme Sungai Batanghari

BACA HALAMAN BERIKUTNYA


Artikel ini bersumber dari www.cnnindonesia.com.