PERADILAN etika dibentuk karena seseorang dituduh melanggar etika. Tuduhan itu bersifat terbuka sehingga mestinya tertuduh juga diberi kesempatan untuk membela diri secara terbuka dalam sidang etik yang terbuka untuk umum.
 
Sidang etik yang digelar terbuka menemukan urgensinya pada saat dugaan pelanggaran etik itu menimbulkan korban. Sejatinya korban dan keluarganya juga diberikan hak untuk mengakses sidang etik yang berlangsung secara terbuka itu.
 
Tulisan Prof Jimly Asshiddiqie berjudul Memperkenalkan Peradilan Etika sangat menarik. Kata Jimly, sekarang sudah banyak lembaga penegak kode etik, tetapi cara kerjanya masih konvensional, tertutup, dengan asumsi lama bahwa masalah etika ialah masa privat yang tidak boleh dibuka keluar.


 
Asumsi itu keliru. Menurut Jimly, jika orang yang dituduh secara terbuka demikian tidak diberi kesempatan membela diri juga secara terbuka, bagaimana mungkin kita dapat menegakkan keadilan etika?
‘Sidang tertutup pasti tidak dapat menyelesaikan kerusakan image atau citra yang berhubungan erat dengan reputasi dan kredibilitas seseorang. Apa pun yang diputuskan di dalam sidang tertutup pasti menyisakan banyak dugaan. Bahkan, dalam praktik, banyak sekali kasus yang menunjukkan bahwa sidang etika yang tertutup itu menjadi alasan untuk adanya penyelesaian secara adat’, tulis Jimly.
 
Sidang etik atas mantan Kadiv Propam Polri Irjen Ferdy Sambo yang berlangsung selama 18 jam berakhir pada Jumat (26/8). Sidang itu berlangsung tertutup, tetapi pembacaan putusannya dilakukan secara terbuka.
 
Terbuka atau tertutupnya sidang etik itu sesuai dengan Peraturan Kepolisian Nomor 7 Tahun 2022 tentang Kode Etik Profesi dan Komisi Kode Etik Kepolisian, tergantung pada Ketua KKEP. Pasal 40 ayat (2) huruf a menyebutkan KKEP berwenang memutuskan sidang dilaksanakan secara terbuka atau tertutup.
 
KKEP yang dipimpin Kepala Badan Intelijen dan Keamanan Polri Komisaris Jenderal Ahmad Dofiri menjatuhkan sanksi pemberhentian tidak dengan hormat terhadap Inspektur Jenderal Ferdy Sambo sebagai anggota Polri.
 
Sidang KKEP terutama yang menarik perhatian publik kiranya berlangsung terbuka. Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) pernah membuat kertas posisi yang menyoalkan mekanisme sidang KKEP pada September 2021.
 
Menurut Kontras, akuntabilitas dan transparansi sidang KKEP merupakan elemen wajib ada dalam upaya mewujudkan pemolisian yang demokratis dan reformasi kepolisian.
 
Akuntabilitas bertujuan memberikan kontrol dalam proses penegakan hukum terhadap anggota Polri yang melanggar ketentuan pidana dan KEPP sehingga pelaksanaan sidang KKEP dapat dipertanggungjawabkan secara administratif, moral, dan hukum berdasarkan fakta.
 
Sementara itu, transparansi bertujuan mencegah penyalahgunaan kekuasaan dan menyediakan akses, ruang, dan informasi bagi publik, dalam hal ini khususnya korban atau keluarga korban, sehingga pelaksanaan sidang KKEP diharapkan dapat dilakukan secara jelas, terbuka, dan sesuai dengan prosedur.
 
Meski KKEP sudah bekerja maksimal, ke depan perlu dipertimbangkan agar dibentuk lembaga penegak kode etik yang bersifat independen dengan komposisi keanggotaan tidak hanya dari dalam unsur anggota Polri.
 
Eloknya di KKEP juga ada unsur penyeimbang dari akademisi, tokoh masyarakat, dan purnawirawan Polri. Unsur penyeimbang dari luar tersebut dimaksudkan agar komisi kode etik lebih berdaya, independen, dan adil dalam membuat putusan yang berdampak menjaga kewibawaan institusi Polri.
 
Praktik peradilan etik oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) patut dijadikan contoh. Peradilan etika yang diselenggarakan DKPP dilakukan terbuka sebagai bentuk pertanggungjawaban penyelenggara pemilu.
 
Sistem peradilan etika penyelenggara pemilu itu telah dicontoh dan ditiru banyak negara di dunia. Ada beberapa KPU dan Bawaslu dari sejumlah negara berkunjung ke DKPP, belajar bagaimana membangun peradilan etika penyelenggara pemilu yang bersifat terbuka. Basis penyelenggaraan peradilan etika penyelenggara pemilu ialah patut atau tidak patut, bukan benar atau salah.
 
Penegakan etika di lingkungan Polri harus menjadi basis terbentuknya polisi sipil memiliki tiga kriteria, yaitu ketanggapsegeraan, keterbukaan, dan akuntabel. Parameter dan indikator polisi sipil ialah transparansi, akuntabel, demokratis, menjunjung tinggi HAM, memiliki komitmen menjunjung tinggi supremasi hukum, bersifat protagonis. Parameter itu bisa diketahui publik dalam sidang yang terbuka.
 

Artikel ini bersumber dari www.medcom.id.