SIAPA sih yang berhak menikmati subsidi? Saya yakin semua Bantu Pemulung yang waras akan menjawab dengan narasi serupa: subsidi ialah hak bagi mereka yang tidak berdaya secara ekonomi, yang miskin papa, yang butuh aksi afirmasi ekonomi.
 
Namun, sudahkah hak itu sepenuhnya mereka nikmati? Jawabnya juga jelas, belum. Sebagian besar hak mereka justru lebih banyak dinikmati oleh yang sudah berdaya, yang kaya, yang sudah menang garis start secara ekonomi. Tentu, itu bukan gambaran keadilan sosial. Sebaliknya, itu ketimpangan sosial.
 
Namun, itulah fakta di negeri ini. Bertahun-tahun isu salah sasaran penerima subsidi, khususnya subsidi bahan bakar minyak (BBM), terus-menerus menjadi pembahasan, tetapi belum juga tuntas dibereskan. Pekan lalu, di forum ini, saya menuliskan kondisi itu sebagai simalakama subsidi. Dicabut salah, enggak dicabut terus bermasalah.


 
Jika subsidi dicabut, harga BBM meroket, inflasi pun bakal melonjak. Dampak berikutnya, daya beli masyarakat bakal rontok. Jika daya beli rontok, pertumbuhan ekonomi pun tergerus. Sebab, separuh pertumbuhan ekonomi kita disokong oleh konsumsi, terutama konsumsi rumah tangga.
Namun, jika dibiarkan tak terkendali, anggaran negara bakal jebol. Subsidi akan terus membengkak. Saya sepakat dengan istilah seorang analis Rimawan Pradiptyo yang menyebut pembiaran pembengkakan subsidi energi sama saja dengan menanam bom waktu yang tumbuh.
 
Sayangnya, upaya menjinakkan bom waktu itu masih menggunakan pola penanganan bersifat myopic dan kebijakan yang didasarkan lebih pada anecdotal evidence (mitos) jika dibandingkan dengan hard evidence (realitas).
 
Kebijakan subsidi BBM pada dasarnya ialah kebijakan yang memanjakan konsumsi masyarakat golongan menengah ke atas dengan dalih melindungi masyarakat berpenghasilan rendah. Konsumsi BBM bersubsidi ialah fenonema compensated consumption.
 
Artinya, berapa pun konsumsi BBM bersubsidi disediakan, untuk kegunaan apa pun dan oleh siapa pun, akan selalu dipenuhi oleh pemerintah. Berapa pun volume BBM bersubsidi yang keluar dari tangki Pertamina, di akhir tahun pasti akan ditutup pendanaannya oleh pemerintah.
 
Ada yang menggambarkan fenomena compensated consumption itu seperti memberikan kartu kredit kepada anak remaja dengan nilai kredit yang tidak terbatas. Lalu di pagi hari, remaja tersebut diantar ke mal paling mewah di negeri ini. Remaja pembawa kartu kredit tidak terbatas tersebut diperkenankan membeli barang apa pun dengan harga berapa pun, dan nantinya seluruh tagihan kartu kredit akan ditanggung.
 
Di malam hari, ketika mal tersebut akan tutup dan si remaja dijemput, adakah orang di bumi ini yang mampu mengestimasi dengan tepat nilai pembelian yang dilakukan remaja tersebut selama sehari itu? Tentu saja jawabannya nihil.
 
Ilustrasi itu menggambarkan kompleksitas yang dihadapi oleh birokrat dalam mengestimasi konsumsi BBM bersubsidi. Tidaklah mengherankan jika setiap tahun kuota BBM bersubsidi tidak mudah diperkirakan.
 
Dalam situasi harga minyak dunia yang melambung seperti sekarang, mereka yang mestinya bukan pengguna BBM bersubsidi, ikut-ikutan memakai BBM subsidi. Penjualan BBM bersubsidi memang sudah dibatasi, tapi itu bukan cara menjinakkan bom waktu yang benar. Terbukti konsumsi pertalite dan solar membengkak. Kuota sudah jebol. Subsidi pun terdongkrak hingga lebih dari Rp500 triliun tahun ini.
 
Sejauh ini penikmat bensin penugasan dan subsidi itu ialah orang-orang mampu dan kaya. Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mengonfirmasikan bahwa pertalite dinikmati oleh masyarakat mampu setidaknya 80%. Hitung-hitungannya, sebanyak 40% masyarakat terbawah (paling miskin) cuma menikmati 20,7% dari total konsumsi atau sekitar 17,1 liter per rumah tangga per bulan.
 
Sementara itu, 60% orang terkaya menikmati hampir 80% dari total konsumsi atau 33,3 liter per rumah tangga per bulan. Jadi, ringkasnya sebanyak 60% masyarakat mampu atau yang masuk dalam golongan kaya mengonsumsi hampir 80% dari total konsumsi BBM bersubsidi, sedangkan 40% masyarakat rentan dan miskin hanya mengonsumsi 20% dari total subsidi energi tersebut.
 
Jelas bahwa kondisi tersebut tidak adil bagi mereka yang mestinya menerima subsidi. Cara menghentikan ketidakadilan itu ialah dengan mengembalikan subsidi dari yang tidak berhak kepada yang berhak. Kalau memang cara terbaik ialah menaikkan harga BBM bersubsidi, lakukan itu saat ini. Apalagi, kalkulasi statistik telah dikantongi.
 
Tinggal kalkulasi momentum. Ini menyangkut strategi, back-up jaring pengaman bagi yang paling terdampak, serta literasi yang masif dan merata. Jangan ragu-ragu, tapi jangan pula grusa-grusu alias main ‘seruduk’ tanpa perhitungan.
 

Artikel ini bersumber dari www.medcom.id.