Jakarta:  Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) merespons masuknya Rancangan Undang-undang (RUU) Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas perubahan 2022 ke Badan Legislasi (Baleg) DPR. Ada enam enam catatan kritis sekaligus rekomendasi P2G.
 
Pertama, P2G menilai RUU Sisdiknas masih minim dalam melibatkan stakeholders pendidikan. Uji publik yang pernah dilakukan Februari 2022 lalu terkesan formalitas saja, sebab organisasi yang diundang hanya diberi waktu 5 menit menyampaikan komentar dan masukan. Aspek partisipasi publik masih rendah.
 
“Dari segi proses perancangan UU, RUU Sisdiknas dirasa jauh dari partisipatif, belum menyerap aspirasi publik seutuhnya. Adapun uji publik oleh Kemdikbudristek terkesan pelengkap syarat formal saja. Kami pun belum mendapatkan penjelasan atau jawaban dari Kemendikbudristek atas pendapat yang telah kami berikan (right to be explained),” ungkap Rakhmat Hidayat, Dewan Pakar P2G, dalam keterangan tertulisnya, Sabtu, 27 Agustus 2022.


Semestinya Kemendkbudristek memahami Keputusan Mahkamah Konstitusi Putusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020, dalam putusannya menekankan bahwa partisipasi publik yang dilakukan dalam pembentukan undang-undang adalah partisipasi yang bermakna (meaningful participation). Partisipasi yang bermakna memiliki tiga prasyarat.
 
Pertama, hak untuk didengarkan pendapatnya (right to be heard). Kedua, hak untuk dipertimbangkan pendapatnya (right to be considered). Ketiga, hak untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang telah diberikan (right to be explained).
 
Rakhmat melanjutkan, P2G mengingatkan dan berharap kepada Kemendikbudristek dan Baleg DPR RI agar memenuhi “Asas Keterbukaan” dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan.  Mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan bersifat transparan dan terbuka.
 
“Mas Nadiem perlu merenungkan kembali, bahwa pendidikan adalah milik kita semua. Kita sebagai warga negara berkepentingan terhadap pendidikan berkualitas dengan akses yang terbuka dan murah. Gotong-rotong dalam pendidikan mestinya tercermin dalam pembahasan RUU Sisdiknas,” tegas Rakhmat.

Omnibus Law

Kedua, P2G menilai RUU Sisdiknas bersifat “Omnibus Law”. RUU Sisdiknas akan menggantikan 3 UU sekaligus yaitu: UU Guru dan Dosen, UU Sisdiknas, dan UU Pendidikan Tinggi. Tapi anehnya mengapa Kemendikbudristek tidak memasukkan UU lain yang berkorelasi dengan sistem pendidikan nasional, mengingat RUU ini bersifat omnibus?
 
Dalam catatan P2G, lebih dari 10 UU yang relevan berkaitan langsung maupun tak langsung dengan sistem pendidikan nasional. Seperti UU Pondok Pesantren, UU Pendidikan Kedokteran, UU Pendidikan dan Layanan Psikologi, bahkan UU Pemerintah Daerah.
 
Dalam konsideran RUU Sisdiknas poin “menimbang” huruf c dan d, dijelaskan bahwa, “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional.” Ini membuktikan Kemendikbudistek ingin membentuk satu sistem pendidikan nasional melalui satu UU bersifat omnibus.
 
“Jika Kemdikbudristek ingin membentuk satu sistem pendidikan nasional, kenapa hanya memasukkan 3 UU pendidikan saja dalam RUU Sisdiknas, padahal masih banyak lagi UU pendidikan seperti UU Pesantren, UU Pendidikan Kedokteran. Apakah Pesantren bukan bagian dari satu sistem pendidikan nasional? Ini namanya omnibus law setengah hati”, cetus Koordinator Nasional P2G, Satriwan Salim.
 
Ketiga, P2G khawatir pembahasan RUU Sisdiknas ini akan bernasib sama dengan UU IKN dan UU Ciptakerja. Pemerintah dan DPR terbukti mengebut pembahasan sampai pengesahannya.
 
Sehingga banyak dikritik oleh civil society karena tidak partisipatif. Padahal prasyarat pastisipasi publik yang bermakna adalah mutlak berdasarkan putusan MK tahun 2020.
 
“Kami khawatir, pembahasan RUU Sisdiknas dipaksakan, pembahasannya dikebut untuk cepat disahkan. RUU Sisdiknas akan menjadi RUU Roro Jongrang istilahnya, sistem kebut semalam langsung jadi, begitu kira-kira analoginya,” lanjut Satriwan.
 
P2G berharap kepada pemerintah dan DPR jangan terburu-buru membahas RUU ini. Produk UU Sisdiknas tidak akan berkualitas hasilnya dengan sistem kerja yang grasa-grusu (terburu-buru).
 
Terbukti dalam draf awal RUU Sisdiknas Februari lalu, kata “madrasah” hilang dalam draf RUU, ini tentu sangat fatal akibatnya. Padahal UU ini akan menentukan kualitas sumber daya manusia Indonesia serta masa depan bangsa dan negara.
 
Sekitar 40 persen penduduk Indonesia Generasi Z dan Alpha hampir 100 juta orang jumlahnya, ditambah 3,2 juta guru, belum lagi dosen dan tenaga kependidikan.  Jangan sampai keteledoran, serupa ini tak terulang lagi. 
 
Keempat, menurut Satriwan, masih banyak persoalan pendidikan dan guru yang mestinya segera dibenahi Kemendikbudristek ketimbang membuat UU Omnibus. Pemulihan pembelajaran pasca pandemi masih menjadi PR besar.
 
Dampak jangka panjang akibat pandemi terhadap pendidikan dan sekolah akan dirasakan beberapa tahun ke depan.  Bahkan learning loss sudah terjadi kini.
 
Hasil Asesmen Kompetensi Minimum (2021) menunjukkan 50 persen siswa Indonesia belum mencapai kompetensi minimum dalam literasi. Sebanyak 2 dari 3 siswa belum mencapai kompetensi minimum dalam numerasi.
 
Bahkan berdasarkan survei Bank Dunia (2020) pengetahuan guru dalam bahasa Indonesia dan matematika hasilnya “rendah” sedangkan untuk pedagogi hasilnya “sangat rendah”. Hasil Uji Kompetensi Guru (UKG) juga masih konsisten di bawah angka 60.  “Ini dulu mestinya prioritas diselesaikan Kemdikbudristek, bukan membuat RUU omnibus law pendidikan. Rasanya RUU Sisdiknas layak ditunda pembahasannya,” ujar Satriwan.

Guru Honorer

Kelima, Iman melanjutkan, RUU Sisdiknas belum memberi solusi kongkret terhadap persoalan guru honorer, guru swasta, dan guru PPPK (pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja). Indonesia tengah menghadapi darurat kekurangan guru Aparatur Sipil Negara (ASN) secara nasional, hingga 2024 kita membutuhkan 1,3 juta guru ASN di sekolah negeri.
 
Selama ini jalannya proses pembelajaran di sekolah sebenarnya sangat ditopang oleh para guru honorer yang diupah ala kadarnya, bahkan tidak manusiawi. Para guru honorer ini pun berlomba-lomba ikut seleksi Guru PPPK. 
 
Namun rekrutmen Guru PPPK sejak 2021 banyak masalah, Pemerintah pun baru mampu menyerap 293 ribu guru PPPK. Ratusan ribu guru honorer yang lulus passing grade tes PPPK namun tidak kunjung dapat formasi.
 
Ada juga yang sudah dapat SK Guru PPPK, namun belum digaji berbulan-bulan seperti di Kabupaten Serang dan Bandar Lampung. Bahkan banyak yang sudah dipecat oleh yayasan, berhenti mengajar namun nasibnya tak kunjung jelas menjadi PPPK. 
 
“Janji merekrut satu juta guru menjadi ASN ternyata ghosting belaka,” terangnya.
 
Janji 1 juta guru belum terpenuhi, sekarang malah merancang RUU yang tidak menjadi solusi bagi guru honorer.  “Mestinya RUU Sisdiknas memberi solusi permasalahan guru honorer di tanah air, mengingat ratusan ribu guru honorer diupah rendah di bawah UMP/UMK. Tak satupun pasal di dalamnya memuat klausul tentang upah minimum guru non ASN. Padahal upah minimum guru non ASN menjadi secercah harapan para guru apalagi honorer,” kata Iman yang merupakan guru honorer di Jakarta.
 
Menurutnya, P2G  masih meragukan RUU Sisdiknas akan mengangkat harkat dan martabat guru di tanah air.
 
P2G juga sangat menyayangkan, keberadaan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) sebagai kampus pencetak tenaga guru dan tenaga kependidikan hilang dari RUU Sisdiknas. Padahal keberadaan LPTK dimuat dalam UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen yang masih berlaku.
 
“Kami menilai Kemdikbudristek mencampakkan begitu saja LPTK. Padahal sudah puluhan tahun mencetak puluhan juta guru yang mendidik anak bangsa. Sekarang tak satu pun pasal dalam RUU ini yang memuat LPTK. Mas Nadiem benar-benar tidak paham guru dan kampus pencetak profesi guru,” ujar Satriwan yang merupakan alumni kampus PTK di Jakarta ini.
 
Hilangnya LPTK dalam RUU Sisdiknas justru akan memunculkan masalah baru, yaitu bagaimana masa depan pengelolaan pendidikan guru di Tanah Air. Bagaimana nasib penyiapan tenaga guru berkualitas mengingat LPTK sudah lenyap dari UU?
 
P2G mengimbau para mahasiswa, orang tua mahasiswa, dosen, rektor, dan alumni LPTK yang puluhan juta jumlahnya, untuk sama-sama bersuara keras kepada Kemdikbudristek dan DPR agar memasukkan kembali pasal tentang keberadaan LPTK sebagai kampus pencetak guru dalam RUU Sisdiknas. 
 
“Kita perlu bersuara kencang agar Kemendikbudristek mendengar. Jika tidak, kondisi ini menjadi akhir perjalanan panjang LPTK yang eksistensinya dikubur hidup-hidup di era kepemimpinan Mendikbudristek Nadiem Makarim. LPTK sudah dibuang jauh dari sejarah pendidikan dan guru, meksipun republik ini berutang banyak padanya,” kata Satriwan.

Peta Jalan Pendidikan

Keenam, Bagi P2G, sebelum membuat RUU Sisdiknas, Kemendikbudristek hendaknya membuat terlebih dulu “Peta Jalan Pendidikan Nasional” (PJPN).  PJPN urgen dan vital dibuat, sebagai gambaran rancangan besar bagaimana pendidikan nasional Indonesia direncanakan dan dikelola. 
 
Jika ada PJPN sebagai desain besar bagaimana pendidikan Indonesia dibuat, kita sudah punya pemetaan, darimana kita berangkat, kemana tujuan kita, apa saja kendala dalam menempuh tujuan, dan melalui jalan mana tujuan dapat dicapai. 
 
“Oleh karena itu RUU Sisdiknas sebenarnya hanya salah satu bagian saja dalam mencapai tujuan negara yang termaktub dalam Pembukaan UUD 1945. PJPN sebagai induknya, sedangkan UU Sisdiknas salah satu bagian turunannya,” menurut Kepala Bidang Advokasi P2G, Iman Zanatul Haeri.
 
Tapi sayangnya, hingga kini Peta Jalan Pendidikan yang pernah dibuat dan dibahas Kemendikbudristek bersama Komisi X DPR RI tidak jelas kemana rimbanya, hilang menguap begitu saja setelah mendapatkan banyak kritik dari masyarakat pada 2020 lalu.

 

(CEU)

Artikel ini bersumber dari www.medcom.id.