Dalam waktu berdekatan, KPK menetapkan tiga pimpinan daerah di Papua sebagai tersangka dalam kasus korupsi. Pegiat hukum meminta, upaya diperluas ke wilayah lain di Papua, karena aroma dugaan korupsi yang kuat.

Tiga pimpinan daerah yang ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK adalah Bupati Mimika Eltinus Omaleng, Bupati Mamberamo Tengah Ricky Ham Pagawak, dan Gubernur Papua, Lukas Enembe.

Direktur LBH Papua, Emanuel Gobay. (Foto: Dok Pribadi)

Direktur LBH Papua Emanuel Gobay kepada VOA menyampaikan, KPK semestinya memperluas upayanya menyelidiki kasus korupsi di wilayah itu.

“Saya harap agar KPK tidak hanya berhenti pada ini. Tetapi bisa melihat di seluruh tempat, di kabupaten dan kota yang ada di Papua. Karena sekarang kan sudah banyak kabupaten dan kota di Papua, maupun juga Papua Barat,” kata Gobay.

Papua memang mengalami penambahan signifikan dalam jumlah kabupaten dan kota karena upaya pemekaran wilayah.

“Teorinya, kita tahu sendiri, bahwa bertambahnya daerah-daerah baru itu tentunya menambah juga aliran dana ke sana, dana negara. Dan tentunya juga akan menciptakan raja-raja kecil. Itu kan sudah jadi pengetahuan bersama sejak lama,” tambah Gobay.

Tidak hanya di wilayah Papua, Gobay meminta upaya investigasi juga merambah ke Papua Barat.

Upaya menelisik kasus korupsi di Papua, lanjut Gobay, bisa dilakukan dengan menelurusi aliran dana dalam skema APBD, terutama alokasi dari APBN. Karena jelas jumlahnya, dan kemudian dialokasikan ke dalam proyek-proyek di Papua, dapat dilihat apakah proyek tersebut berjalan atau tidak.

“Ketika kita melihat faktanya, apakah proyek melalui dana itu terealisasi atau tidak. Kalau tidak terealisasi, tentunya ada dugaan korupsi di sana,” ujar Gobay.

Namun, dia juga mengingatkan bahwa tiga kasus yang saat ini ditangani KPK belum dapat menggambarkan keseluruhan kondisi korupsi di Papua. Karena itu, sekali lagi, dia mendesak upaya serupa dilakukan di kabupaten dan kota di seluruh Papua.

“Apakah hanya tiga kasus ini saja, sementara yang lain tidak ada. Kalau seandainya tiga ini kemudian mau dijadikan indikator untuk mengukur, saya pikir tidak tepat. Harus yang lain juga dong, baru kemudian kita bisa jadikan indikator kesuksesan KPK. Kalau hanya tiga ini, malah menjadi pertanyaan tersendiri ke KPK. Kok hanya tiga, yang lainnya bagaimana?” tandasnya.

Terkait kondisi sosial di Papua, khususnya dalam kasus Lukas Enembe, Gobay meminta KPK memberi penjelasan sepenuhnya kepada masyarakat, terkait alasan penetapan tersangka itu. Tidak selayaknya, tiba-tiba status dikenakan dan kemudian dilakukan penjemputan, karena berpotensi menimbulkan gesekan di masyarakat.

Dalam kasus penggunaan dana Otonomi Khusus, Gobay juga mengingatkan bahwa UU Otsus Nomor 2/2021 menetapkan bahwa penguasaan dana diatur oleh pemerintah pusat. Karena itu, penyelidikan dugaan korupsi dana Otsus, tidak boleh berhenti pada eksekutor anggaran di Papua, tetapi juga oleh pemegang kebijakan di Jakarta.

Bukti KPK Hadir di Papua

Dalam keterangannya pada Rabu (14/9) malam, Ketua KPK Alexander Marwata mengatakan bahwa penetapan tersangka kasus korupsi di Papua adalah tindak lanjut informasi masyarakat yang diterima lembaga tersebut.

Wakil Ketua KPK Alexander Marwata dalam sebuah keterangan pers pada Jumat (3/6).

“Beberapa kali pimpinan ke Papua, dan selalu mendapat komplain dari masyarakat, pegiat anti korupsi dan juga dari kalangan pengusaha, seolah-olah KPK itu tidak ada kehadirannya di Provinsi Papua,” kata Marwata.

Marwata melanjutkan, telah cukup lama KPK menerima informasi dari masyarakat Papua, terkait praktik korupsi dan pembangunan infrastruktur di wilayah tersebut.

“Dan kami tidak tinggal diam. Kami berkoordinasi dengan berbagai pihak dan terutama juga dari informasi masyarakat. Penetapan tersangka dilakukan KPK ini sudah menyangkut tiga kepala daerah, Bupati Mimika, Bupati Memberamo Tengah dan terakhir Gubernur LE, itu adalah tindak lanjut dari informasi masyarakat,” tegasnya sekali lagi.

KPK juga memastikan memiliki cukup alat bukti. Mereka juga sudah melakukan klarifikasi terhadap sejumlah saksi dan memperoleh dokumen-dokumen, yang membuat KPK meyakini, ada cukup alat bukti untuk menetapkan tersangka.

Komisioner KPK, Alexander Marwata. Foto screenshot

Komisioner KPK, Alexander Marwata. Foto screenshot

“Kami berharap dukungan dari masyarakat Papua, terkait upaya pemberantasan korupsi yang kami lakukan. Kami berharap dana yang demikian besar, yang sudah disalurkan oleh pemerintah pusat dalam bentuk dana Otsus, betul-betul bisa dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Papua,” tegas Marwata.

KPK mencatat selama 20 tahun terakhir puluhan triliun rupiah dana Otsus sudah disalurkan pemerintah. Tujuannya adalah untuk kesejahteraan masyarakat Papua.

“Tetapi, jika praktik-praktik korupsi tersebut berlangsung, kami mengkhawatirkan upaya-upaya yang dilakukan oleh pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Papua tidak akan terwujud. Sekali lagi, bahwa upaya KPK untuk mendukung pembangunan di Provinsi Papua itu sejalan dengan keinginan masyarakat Papua. Bagaimana kesejahteraan masyarakat Papua bisa sejajar dengan saudara-saudara di wilayah Indonesia yang lain,” tambahnya.

Sebagian masyarakat Papua, khususnya di Jayapura, memang menentang upaya KPK menjadikan Lukas Enembe sebagai tersangka kasus korupsi. Dalam pemeriksaan di Markas Brimob Jayapura, ribuan pendukung Lukas Enembe melakukan aksi. Gubernur Papua sendiri tidak hadir dalam pemeriksaan itu, dengan alasan sakit.

Bupati Mimika Mimika Eltinus Omaleng terjerat kasus pembangunan Gereja Kingmi Mile 32. KPK menyebut, kerugian keuangan negara setidaknya sejumlah Rp21,6 Miliar dari nilai kontrak Rp46 Miliar, dimana Eltinus diduga menerima uang sekitar Rp4,4 Miliar. Sementara Bupati Mamberamo Tengah Ricky Ham Pagawak, diduga menerima pemberian uang hingga sekitar Rp24,5 Miliar, terkait sejumlah proyek yang dilaksanakan di kabupaten tersebut. Sedangkan Lukas Enembe diduga menerima gratifikasi senilai Rp1 miliar. [ns/ab]

Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.