Pak Jokowi, RI Perlu Lakukan Ini Biar Tak Krisis Kaya Inggris

tentang.co.id – Saat ini, negara Inggris sedang mengalami krisis energi parah karena banyak warga mulai beraktivitas dan membutuhkan banyak energi pasca pandemi Covid-19. Ditambah cuaca dingin membutuhkan energi lebih untuk heater (pemanas).

WNI yang tinggal di Kota Leeds, Eva (35) mengatakan di tahun ini pemerintah bahkan sudah dua kali menaikkan harga dasar energi. Warga pun sedang cemas menunggu Oktober 2022 yang katanya tarif listrik akan naik lagi.

“Tagihan yang naik pastinya tagihannya energi, tahun ini saja sudah dua kali naik energinya dan nanti bulan Oktober akan naik lagi. Sekitar sepertiga pendapatannya itu untuk biayain energi, belum untuk sama rumah, cicilan, makanan,” tuturnya dikutip dari detik.com, Minggu, (9/10/2022).

Eva mengatakan harus menghemat energi yang saat ini tagihannya semakin mahal. Eva menyebut beberapa mahasiswa Indonesia di Inggris saat ini lebih memilih belajar di kampus daripada tempat kost atau apartemen.

“Karena untuk mengurangi biaya listrik dan pemanas ruangan. Selain itu di kampus kan bisa lebih terkonsentrasi, kalau di rumah tidur terus ntar,” tambahnya.

Kondisi krisis Inggris tersebut sudah seharusnya menjadi pelajaran penting bagi Indonesia agar tak terjerumus dalam masalah yang sama. Untuk itu, Direktur Eksekutif ReforMiner Institute, Komaidi Notonegoro mengatakan dalam pemenuhan listrik nasional, Indonesia bisa mengoptimalkan pembangkit listrik bertenaga batu bara ketimbang memaksakan penggunaan energi baru terbarukan (EBT) yang belum siap.

“Kalau kita lihat di Amerika Serikat, EBT hanya 12% di tahun 2020. Kalau Inggris sudah lama pake fosil, mereka sudah 400 tahun pakai batu bara sejak era revolusi industri,” jelasnya.

Krisis energi Inggris menyadarkan mereka bahwa tidak bisa serta merta mengandalkan dan bergantung sepenuhnya kepada EBT. Komaidi yakin sejauh ini batu bara akan tetap menjadi energi yang dominan untuk pembangkit listrik Indonesia. Ia melihat pemerintah akan berpikir realistis untuk menggunakan energi yang termurah.

Ia juga menuturkan, Indonesia perlu berhati-hati menyikapi masalah transisi energi ini. Menurutnya, EBT bisa dikembangkan, tapi jika belum bisa kompetitif, jangan dipaksakan.

Sementara itu, Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Eddy Soeparno menilai perubahan dari pemanfaatan fosil menjadi EBT harus melalui proses kerja keras dan konsisten agar kebijakan target ‘zero carbon‘ tercapai pada 2060.

“Ya untuk saat ini, (peralihan ke EBT) memang membutuhkan waktu, tidak bisa seperti membalikkan telapak tangan,” katanya.

Di sisi lain, ia mengingatkan, Indonesia juga harus memiliki roadmap energi hijau untuk 30 tahun mendatang sebagai target zero energy carbon. Terpenting adalah pemerintah juga perlu mendesak negara maju yang menyatakan pelarangan emisi karbon.

Direktur Eksekutif Energi Watch Mamit Setiawan mengatakan kemampuan ekonomi masyarakat terhadap harga BBM dan listrik yang tinggi masih rendah. Belum lagi keuangan negara juga makin terbebani jika harga energi yang tersedia lebih mahal dari batu bara.

Saat ini harga EBT masih lebih mahal dibanding harga batu bara. Jika nanti skema tarifnya ditentukan oleh pemerintah, sudah pasti akan membebani PLN dan keuangan negara. Dengan alasan-alasan tersebut, kata dia, apabila secara ekonomi belum terpenuhi sebaiknya pemerintah tidak perlu terburu-buru beralih ke EBT.

“Memang transisi itu akan tetap ada dan terjadi, sehingga bagaimana kita melihat kesiapan menjalankan hal tersebut. Kita harus sabar dan melihat kondisi internal seperti apa. Jangan terburu-burulah, nanti kejadian kaya Inggris. Pembangkit listrik batu bara kita dihancurkan, tapi tiba-tiba kekurangan bahan pasokan energi terbarukan,” ujarnya.