Benarkah Kenaikan Harga BBM Bakal Dorong Angka Kemiskinan?

tentang.co.id – Setiap terjadi kenaikan harga BBM, selalu memercik polemik di tengah masyarakat. Salah satu hal yang paling dikhawatirkan dari kenaikan harga BBM adalah mendorong kenaikan harga-harga bahan pokok.

Pemerintah sendiri sudah menaikkan harga BBM pada 3 September kemarin. Harga solar naik dari Rp 5.150/liter jadi Rp 6.800/liter. Harga Pertalite naik dari sebelumnya Rp 7.650/liter menjadi Rp 10.000 ribu/liter. Lalu, Pertamax dari sebelumnya dibanderol Rp 12.500/liter menjadi Rp 14.500/liter.

Salah satu hal yang menjadi perhatian khalayak terkait dampak dari kenaikan harga BBM yang dikhawatirkan memicu kenaikan angka kemiskinan. Benarkah hal itu bakal terjadi?

Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS) Anthony Budiawan menjelaskan BBM merupakan barang yang menguasai hajat hidup masyarakat. Dia mengartikan bahwa BBM seharusnya terjangkau bagi seluruh masyarakat.

Lebih jauh dia menjelaskan, pengeluaran untuk BBM idealnya adalah 5% dari pendapatan masyarakat. Dia mencontohkan, jika seorang buruh memiliki gaji Rp 4 juta/bulan, maka artinya pengeluaran BBM harusnya Rp 200 ribu setiap bulannya.

“Ini saya ambil benckmark 5%, kalau dia sampai 10% artinya pengeluaran lainnya harus dikurangi. Artinya ada belanja-belanja lain yang harus dikurangi,” tuturnya dalam sebuah diskusi Poligov di Jakarta, Minggu (11/9/2022).

Jika kenaikan BBM meningkatkan porsi pengeluaran buruh tersebut, lanjutnya, maka harus ada biaya pengeluaran lain yang harus dikurangi. Itu artinya maka akan mengikis daya beli masyarakat.

Menurut Anthony jika daya beli masyarakat tergerus akibat kenaikan harga BBM, maka potensi meningkatnya angka kemiskinan semakin besar.

“Inilah kenapa harga BBM naik maka akan meningkatkan kemiskinan. Karena kemampuan dia untuk beli pangan, sandang akan berkurang. Ini yang membuat kemiskinan meningkat, ini yang tidak diperhatikan pemerintah,” tuturnya.

Direktur Eksekutif Poligov Muhammad Tri Andika membeberkan hasil survei terbaru yang dilakukan. Menurutnya 80% publik tidak setuju dengan kenaikan harga BBM.

Akibatnya, pasca kebijakan kenaikan BBM 3 September lalu, terjadi penurunan tingkat kepuasan masyarakat terhadap pemerintah dari 63% di bulan Juli, menjadi 60% di September 2022.

Tri Andika juga menekankan hanya 12% responden yang menyatakan BLT tepat untuk dijalankan. Sementara mayoritas responden setuju dengan subsidi barang alih-alih subsidi melalui BLT.

Sementara itu Pengamat Ekonomi Politik sekaligus Mantan Sekretaris Kementerian BUMN, Said Didu mempertanyakan mengenai salah satu alasan kenaikan harga BBM adalah subsidi yang diberikan tidak tepat sasaran.

Sebab menurutnya sejak dulu memang subsidi BBM tidak pernah memasukkan unsur sasaran pemberian subsidi. Dia menjelaskan untuk penyaluran subsidi BBM yang menjadi unsur utama adalah penentuan kuota.

“Apakah betul bahwa subsidi BBM salah sasaran? Dari dulu subsidi tidak ada namanya sasaran, yang ada kuota. Misalnya berapa kuota Premium di provinsi A. Bahwa siapa yang beli di sana tidak ada,” ucapnya.

Nah, untuk menentukan besaran kuota subsidi BBM di sebuah wilayah dihitung berdasarkan jumlah kendaraan umum dan jumlah masyarakat menengah ke bawah di daerah tersebut.